bisnis online, jual beli online, sistem pembayaran, pembayaran online, bisnis online

Minggu, 05 April 2009

Budaya Jawa dan Karakter Pribadi

Saya adalah keturunan Jawa dan Sunda: Jawa dari ibu saya, Sunda dari bapak saya. Tapi sebenarnya secara nyata, tidak ada budaya Jawa atau Sunda yang pernah dengan sengaja diajarkan oleh kedua orang tua saya sejak kecil.

Sejak kecil, saya hidup berpindah-pindah mengikuti tugas bapak. Biasa lah, anggota militer. Tapi pada dasarnya saya malah telah mendapat dasar budaya Melayu karena ketika saya masih kecil, saya relatif lama tinggal di Binjai, Sumatera Utara, ditambah ibu dan bapak saya yang jelas tidak memakai bahasa Jawa maupun Sunda kepada anak-anaknya karena memang sedang tinggal di daerah Melayu.

Namun setelah bapak meninggal, ibu dan kami anak-anaknya pindah ke Solo, kampung halaman ibu saya. Saya kemudian mulai bersekolah dari TK, SD, SMP dst. Di TK, kami cenderung memakai bahasa Indonesia. Percaya atau tidak, selama itu, ibu saya ternyata tetap tidak mengajarkan budaya Jawa secara khusus kepada anak-anaknya. Makanya percaya atau tidak, ketika saya masuk SD pun, saya masih masih belum mengerti benar pembicaraan teman-teman yang berbahasa Jawa. Tapi sedikit-sedkit, dengan pergaulan yang intens dengan teman-teman, saya mulai mengerti berkomunikasi dengan bahasa Jawa dan berbicara dengan lancar sekalipun dengan Ngoko (level bahasa Jawa yang paling rendah/kasar).

Namun ada beberapa hal yang cukup jadi stimulus bagi pemahaman saya mengenai budaya Jawa, yaitu ketika ibu saya memasukkan saya ke les tari Jawa, kemudian karena saya bisa menari Jawa, SD saya mengirimkan saya sebagai wakil sekolah untuk pementasan wayang orang. Pengetahuan saya tentang budaya Jawa terpacu melalui cerita wayang, dialog dan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam pementasan. Apalagi ada tetangga yang juga masih saudara saya punya komik wayang bikinan RA Kosasih yang bisa saya pinjam, semakin kaya lah pengetahuan saya.

Masa SMP adalah masa saya memasuki budaya dalam ranah “ilmiah” yang lebih dalam. Kenapa? Karena pelajaran-pelajaran bahasa Jawa yang diberikan di kelas (sekalipun banyak teorinya), bisa saya nikmati dengan baik (Entah kalau orang lain ya). Mungkin karena sudah ada dasarnya dari SD, yang membuat minat saya sudah terpasang.

Namun sebagaimana telah saya katakan di depan, bahasa Jawa yang saya pakai cenderung masih pada level Ngoko. Tapi sejak SMA, ada perubahan yang cukup berarti pada bahasa Jawa yang saya pakai, karena levelnya meningkat dengan pasti ke Krama (level halusnya di atas Ngoko), bahkan sampai ke Kromo Inggil (level terhalus/teratas). Ini karena saya mulai bergaul dengan bapak-bapak yang sudah sepuh di masjid, yang dengan sendirinya menuntut saya untuk bisa berbahasa halus kepada mereka.

Secara pribadi, saya memandang bahwa bahasa (dan tentunya juga budaya) haruslah dipakai secara aktif kalau kita tidak ingin bahasa itu mati. Makanya saya bisa berbahasa Jawa karena saya aktif memakainya. Dan saya yakin, jika saya tidak memakainya, maka lama-lama saya akan kesulitan dalam berbahasa Jawa. Buktinya ya seperti sekarang ini, sejak saya tinggal di Bandung (kuliah di Bandung: S1 terus S2, menikah, punya anak, membeli rumah juga di Bandung), dengan sendirinya saya beralih ke bahasa Sunda. Memang saya sendiri keturunan Sunda, tapi sejak kecil saya tidak pernah dapat pendidikan budaya dan bahasa Sunda.

Percaya atau tidak, ketika saya pulang kampung ke Solo, saya sering tertegun-tegun sendiri karena bahasa Jawa saya tertukar-tukar dengan bahasa Sunda. Pertama, karena peralihan bahasa cukup memakan waktu, minimal beberapa hari untuk ganti “setting”. Kedua, karena banyak kata-kata dalam bahasa Jawa dan Sunda yang sama, sekalipun beda level kehalusannya.

Memang saya sekarang tidak lagi menari Jawa (bahkan sejak SMP). Tapi saya bisa katakan, bahwa saya “terdidik” dengan bahasa dan budaya Jawa. Kenapa? Karena dengan sendirinya saya belajar unggah-ungguh (tata krama) dan segala macam pernak-pernik budaya lewat semua proses yang saya sebutkan di atas. Dan jangan heran, itu semua cukup membentuk karakter saya.

Adapun mengenai sikap, saya pribadi bisa mengatakan bahwa budi pekerti yang baik seringkali harus memperhatikan di mana kita tinggal. Maksud saya bahwa seseorang yang berbudi pekerti yang baik, pasti harus tahu menempatkan sikapnya pada tempatnya. Untuk itulah ia harus tahu bahasa dan budaya setempat. Bahkan tidak hanya tahu, tapi paham, dan paham ini menuntutnya untuk mau mempalajari dan menggunakannya secara aktif. Dan tidak mungkin ini bisa terjadi kalau semuanya hanya disimpan dalam museum atau koleksi virtual.

Memang saya pribadi juga tidak akan menelan bulat-bulat semua budaya Jawa. Ini karena saya punya pertimbangan lain, yaitu agama saya, yang memang menuntut saya untuk memfilter semua aspek budaya agar aspek-aspek yang “tidak pada tempatnya” ya tidak perlu diambil.

Memang saya juga tidak akan memaksa orang lain (termasuk anak sendiri) untuk berbudaya daerah dengan saklek. Tapi kalau budaya daerah cuma disimpan di museum saja atau di koleksi virtual, masa tega sih?

Tidak ada komentar: