bisnis online, jual beli online, sistem pembayaran, pembayaran online, bisnis online

Rabu, 25 Maret 2015

Merencanakan Pulang Kampung

Akhir tahun kemarin, saya pulang kampung ke Laweyan. Sebenarnya ini tidak direncanakan, sekalipun diinginkan. Maksudnya, tadinya cuma timbul sekedar keinginan pulang kampung, tetapi karena sedang ada banyak keperluan, jadinya tidak merencanakan pulang kampung betulan.

Namun akhirnya, banyak keperluan yang bisa diselesaikan pada akhir tahun itu. Karena kebetulan jatah cuti masih banyak dan keluarga juga sudah pada libur, akhirnya timbul keinginan kuat untuk pelang kampung. Jadilah perencanaan mendadak untuk melakukan perjalanan ke Laweyan. Sebenarnya ini perjalanan sulit. Bukan karena sulitnya jalan, tetapi karena sulitnya mendapat tiket kereta api!

Oh ya, biasanya saya pulang ke kampung Laweyan menggunakan kereta api. Tetapi ternyata pada waktu itu, sekian banyak orang juga libur dan sudah memesan tiket jauh-jauh hari. Memang, pemesanan tiket kereta api sekarang jauh lebih mudah daripada dahulu, sehingga pada satu sisi semua orang bisa dengan mudah mendapatkan tiket jauh-jauh hari, sekalipun pada sisi yang lain membuat orang kesulitan mendapat tiket jika tidak segera memesan tiket. Akibatnya seperti pada saya ini: tidak bisa menggunakan moda transportasi yang biasa saya pakai ini dan terpaksa menggunakan bus.

Menggunakan bus tentu berbeda dengan kereta api. Selain agak "mengerikan" jika melihat bagaimana aksi si sopir dalam mengemudi (makanya lebih baik merem kalau naik bus), biayanya juga bisa jadi lebih mahal. Tapi tentu tidak terlalu jadi masalah, kalau memang niat pulang kampungnya untuk silaturahmi. Mudah-mudahan jadi barokah, termasuk semua kesulitan (biaya dsb) mudah-mudahan bisa jadi amal shalih.

Namun dari itu semua, akhirnya dapat pelajaran begini:
Kalau dulu bisa pergi-pergi begitu saja tanpa rencana, sekarang sudah tidak bisa lagi. Segala sesuatu harus direncanakan, termasuk PULANG KAMPUNG!!

Minggu, 05 April 2009

Budaya Jawa dan Karakter Pribadi

Saya adalah keturunan Jawa dan Sunda: Jawa dari ibu saya, Sunda dari bapak saya. Tapi sebenarnya secara nyata, tidak ada budaya Jawa atau Sunda yang pernah dengan sengaja diajarkan oleh kedua orang tua saya sejak kecil.

Sejak kecil, saya hidup berpindah-pindah mengikuti tugas bapak. Biasa lah, anggota militer. Tapi pada dasarnya saya malah telah mendapat dasar budaya Melayu karena ketika saya masih kecil, saya relatif lama tinggal di Binjai, Sumatera Utara, ditambah ibu dan bapak saya yang jelas tidak memakai bahasa Jawa maupun Sunda kepada anak-anaknya karena memang sedang tinggal di daerah Melayu.

Namun setelah bapak meninggal, ibu dan kami anak-anaknya pindah ke Solo, kampung halaman ibu saya. Saya kemudian mulai bersekolah dari TK, SD, SMP dst. Di TK, kami cenderung memakai bahasa Indonesia. Percaya atau tidak, selama itu, ibu saya ternyata tetap tidak mengajarkan budaya Jawa secara khusus kepada anak-anaknya. Makanya percaya atau tidak, ketika saya masuk SD pun, saya masih masih belum mengerti benar pembicaraan teman-teman yang berbahasa Jawa. Tapi sedikit-sedkit, dengan pergaulan yang intens dengan teman-teman, saya mulai mengerti berkomunikasi dengan bahasa Jawa dan berbicara dengan lancar sekalipun dengan Ngoko (level bahasa Jawa yang paling rendah/kasar).

Namun ada beberapa hal yang cukup jadi stimulus bagi pemahaman saya mengenai budaya Jawa, yaitu ketika ibu saya memasukkan saya ke les tari Jawa, kemudian karena saya bisa menari Jawa, SD saya mengirimkan saya sebagai wakil sekolah untuk pementasan wayang orang. Pengetahuan saya tentang budaya Jawa terpacu melalui cerita wayang, dialog dan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam pementasan. Apalagi ada tetangga yang juga masih saudara saya punya komik wayang bikinan RA Kosasih yang bisa saya pinjam, semakin kaya lah pengetahuan saya.

Masa SMP adalah masa saya memasuki budaya dalam ranah “ilmiah” yang lebih dalam. Kenapa? Karena pelajaran-pelajaran bahasa Jawa yang diberikan di kelas (sekalipun banyak teorinya), bisa saya nikmati dengan baik (Entah kalau orang lain ya). Mungkin karena sudah ada dasarnya dari SD, yang membuat minat saya sudah terpasang.

Namun sebagaimana telah saya katakan di depan, bahasa Jawa yang saya pakai cenderung masih pada level Ngoko. Tapi sejak SMA, ada perubahan yang cukup berarti pada bahasa Jawa yang saya pakai, karena levelnya meningkat dengan pasti ke Krama (level halusnya di atas Ngoko), bahkan sampai ke Kromo Inggil (level terhalus/teratas). Ini karena saya mulai bergaul dengan bapak-bapak yang sudah sepuh di masjid, yang dengan sendirinya menuntut saya untuk bisa berbahasa halus kepada mereka.

Secara pribadi, saya memandang bahwa bahasa (dan tentunya juga budaya) haruslah dipakai secara aktif kalau kita tidak ingin bahasa itu mati. Makanya saya bisa berbahasa Jawa karena saya aktif memakainya. Dan saya yakin, jika saya tidak memakainya, maka lama-lama saya akan kesulitan dalam berbahasa Jawa. Buktinya ya seperti sekarang ini, sejak saya tinggal di Bandung (kuliah di Bandung: S1 terus S2, menikah, punya anak, membeli rumah juga di Bandung), dengan sendirinya saya beralih ke bahasa Sunda. Memang saya sendiri keturunan Sunda, tapi sejak kecil saya tidak pernah dapat pendidikan budaya dan bahasa Sunda.

Percaya atau tidak, ketika saya pulang kampung ke Solo, saya sering tertegun-tegun sendiri karena bahasa Jawa saya tertukar-tukar dengan bahasa Sunda. Pertama, karena peralihan bahasa cukup memakan waktu, minimal beberapa hari untuk ganti “setting”. Kedua, karena banyak kata-kata dalam bahasa Jawa dan Sunda yang sama, sekalipun beda level kehalusannya.

Memang saya sekarang tidak lagi menari Jawa (bahkan sejak SMP). Tapi saya bisa katakan, bahwa saya “terdidik” dengan bahasa dan budaya Jawa. Kenapa? Karena dengan sendirinya saya belajar unggah-ungguh (tata krama) dan segala macam pernak-pernik budaya lewat semua proses yang saya sebutkan di atas. Dan jangan heran, itu semua cukup membentuk karakter saya.

Adapun mengenai sikap, saya pribadi bisa mengatakan bahwa budi pekerti yang baik seringkali harus memperhatikan di mana kita tinggal. Maksud saya bahwa seseorang yang berbudi pekerti yang baik, pasti harus tahu menempatkan sikapnya pada tempatnya. Untuk itulah ia harus tahu bahasa dan budaya setempat. Bahkan tidak hanya tahu, tapi paham, dan paham ini menuntutnya untuk mau mempalajari dan menggunakannya secara aktif. Dan tidak mungkin ini bisa terjadi kalau semuanya hanya disimpan dalam museum atau koleksi virtual.

Memang saya pribadi juga tidak akan menelan bulat-bulat semua budaya Jawa. Ini karena saya punya pertimbangan lain, yaitu agama saya, yang memang menuntut saya untuk memfilter semua aspek budaya agar aspek-aspek yang “tidak pada tempatnya” ya tidak perlu diambil.

Memang saya juga tidak akan memaksa orang lain (termasuk anak sendiri) untuk berbudaya daerah dengan saklek. Tapi kalau budaya daerah cuma disimpan di museum saja atau di koleksi virtual, masa tega sih?

Kamis, 27 Maret 2008

Kunjungan akhir pekan di bulan Maret

Pada akhir pekan 3 minggu yang lalu, saya sengaja pulang kampung. Biasa, mengunjungi ibu yang memang masih tinggal di sana. Kebetulan juga pas hari libur dan cuti kerja bisa diambil pas hari-hari itu.

Sebenarnya sudah ada niat untuk mencari kuliner khas Solo yang tidak pernah bisa ditemui di Bandung. Tapi sayang, hanya sempat sebentar keliling-keliling Solo. Itupun karena ada titipan yang harus dipenuhi.

Oh ya, kalau mau tahu sebagian makanan khas Solo, saya berikan daftarnya nih:
timlo
- pecel sambel kacang (Ini sama saja dengan pecel Jawa yang lain)
- pecel sambel wijen (Ini sering disebut "pecel ndeso")
- pecel sambel tumpang (Ini sering disingkat sebagai "tumpang" saja)
- tahu kupat
- cabuk rambak
- sosis Solo
- soto Solo
- sate buntel
- sate Solo
- tongseng (Di daerah lain ada juga nih)
- semar mendem
- bongko
- garang asem
- dll
- dll...

Banyak nih. Mau tahu lebih banyak? Datanglah ke Solo....

Rabu, 27 Februari 2008

Catatan awal Anak Laweyan

Harus bisa berbahasa Jawa? Tidak! Ini bukan blog khusus orang Jawa (baca: Solo). Blog ini dibuat sebagai kumpulan catatan saya sebagai anak manusia yang pernah tumbuh di sebuah kampung (yang sekarang sudah jadi nama kelurahan, bahkan kecamatan) di Solo yang bernama Laweyan, sebuah kampung yang masih ditebari pesona bangunan gedung tua yang besar dan megah milik para saudagar batik di zaman dahulu, dan masih mempunyai pesona budaya kemasyarakatan yang khas (yang sulit ditemui di tempat lain).

Kampung Laweyan bagi saya merupakan tempat di mana sebagian karakter saya terbentuk: karakter kejawaan dengan segala tata krama dan budi bahasanya, karakter yang cukup teguh membekas dalam watak saya sampai sekarang, hingga banyak orang akan tidak percaya bahwa saya bukan orang Jawa asli, tapi separuh Sunda!

Tidak apa-apa, blog ini saya dedikasikan buat melestarikan keluhuran budaya di Kampung Laweyan dan semoga menjadi salah satu jalan bagi kemajuan positif bagi kampung ini, yang tentunya melalui sambung rasa, komentar, dan wacana yang tumbuh dan berkembang lewat interaksi dunia maya di blog ini.

Nuwun sewu...semanten punika atur kula...pamit rumiyin.